#Protocol 02
Kita harus membentuk opini publik melalui surat-surat kabar kepada orang-orang non-Yahudi.
#Protocol 07
Kita harus berani mendorong masyarakat Eropa dan selalu membantu menyebarkan isu buruk dan berbau permusuhan dengan penduduk yang tinggal di benua lain.
Itulah
sebagian dari skenario besar, grand scenario, yang telah menemukan bentuknya
untuk menghancurkan negara-negara besar, agama, serta bangsa-bangsa di dunia
guna menciptakan Tata Dunia Baru (New World Order) sebagai implementasi dari
Pemerintahan Satu Dunia (One-World Government) yang terpampang jelas di segel
mata uang Amerika Serikat. Skenario besar ini dicetuskan oleh Adam Weishaupt,
seorang tokoh pendeta Kristen sekaligus Guru Besar bidang hukum di Universitas
Inglecot, Jerman. Tahun 1770 dia memulai kontak dengan tokoh-tokoh Yahudi
Jerman untuk mendirikan apa yang dikenal dengan Secret Order of Bavarian
Illuminati. Dari kontak-kontak itulah sebuah skenario besar dirancang
berdasarkan peninjauan ulang kitab protokol-protokol Zion klasik sebagai langkah untuk menguasai dunia yaitu dengan meletakkan paham Ateisme. Lebih lanjut lagi tujuan utama dari misi tersebut adalah dengan menghancurkan agama selain Yahudi, menyulut api peperangan, pembunuhan, di samping menghancurkan pemerintah berlandaskan prinsip kemanusiaan[1]. Pada tanggal 1 Mei 1776 skenario besar itu terbentuk serta merupakan tanggal yang dipakai oleh kaum Komunis sebagai Hari Buruh Internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan dunia. Skenario itu dikembangkan lagi menjadi 24 protokol Zionis pada konferensi Zionis Internasional pertama di Bassel, Swiss tahun 1897.
Ironisnya skenario ini tidak terendus atau memang sengaja dihilangkan jejaknya untuk dideteksi alih-alih bagi kalangan akar rumput,
grass root, sebagaimana yang telah dikehendaki oleh kaum Zionis
[2]. Di antara pengkaburan yang mereka lakukan adalah bersikap sebagai “pengamat” atau “penulis” tentang Lucifer, Illuminati
[3] atau sempalan-sempalan Yahudi lainnya yang beraliran satanis yang netral. Cara lain yang mereka lakukan yaitu dengan cara memberikan stigma positif terhadap tubuh Illuminati sendiri atau menganggap kelompok ini sudah tiada dan hanya sempat berjaya di abad ke-18 saja. Dampak dari trik keji tersebut tidak sedikit ilmuan kaliber dunia terkecoh olehnya, sehingga mereka menerima saja julukan “Abad Pencerahan” sebagai representasi masa-masa munculnya Illuminati.
Maka tak heran jika dunia dibuat rabun oleh Revolusi Bolshevik di Rusia yang konon didapuk sebagai revolusi paling heroik dalam sejarah. Dan tahukan kita bahwa dari revolusi itu berdiri Illuminati dan Zionisme Internasional dengan satu kepentingan sambil menunggangi Freemasonry untuk menghancurkan kekaisaran Rusia sekaligus agama Katolik Ortodoks dengan tujuan menciptakan negara komunis di Rusia yang dasarkan pada Marxisme sebagai produk dari jerih payah Yahudi memeras otak Karl Marx. Uniknya lagi dalam revolusi untuk menggulingkan pemerintahan Tsar Nicolas II, kaisar Rusia, mereka menggerakkan lebih dari satu juta lebih orang keturunan Yahudi-Rusia yang dimobilisasi dalam pergolakan berdarah tersebut.
Begitulah cara-cara yang dilakukan oleh kelompok Zionis untuk menciptakan Pemerintah Satu Dunia, E Pluribus Unum, dan masih banyak lagi cara-cara kotor untuk menggulingkan penguasa sah secara subversif demi hanya gara-gara tidak sepaham atau tidak mau diajak “berkompromi” dengan Yahudi. Dengan baju revolusi, The Glorious Revolution, Zionis-Yahudi mendalangi sejumlah pemberontakan dengan kedok revolusi mulai dari Revolusi Perancis, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Amerika yang ujung-ujungnya adalah “Revolusi Ateisme” yang muncul sebagai agama baru yang “anti agama”.
Sebagai jalan alternatif untuk memuluskan akal busuk mereka, kaum Zionis menyuntikkan ideologi-ideologi “karbitan” yang masuk melalui pembuluh kapiler kehidupan melalui tangan-tangan Darwin, Marx hingga Nitze sehingga pandangan-pandangan mereka mampu menggoyahkan masyarakat dunia. Bagi mereka ajaran seperti itu mudah diterima bagi orang yang tidak menjalankan ajaran agama yang oleh Yahudi telah disesatkan dengan Fashion, Fun, Food, dan Sex yang ujung-ujungnya goyim, sebutan bagi kelompok selain Yahudi, lalai dalam menjalankan perintah ajaran agama yang disadari atau tidak menggiring pada terlepasnya sebuah agama bagi kehidupan. Agama terlucuti dengan halusnya.
Kebusukan-kebusukan yang dilakukan oleh Zionis di atas terpendam dalam kesepian setelah media-media mereka melaksanakan tugasnya, konspirasi zionistik yang khas yang kerap kali dilakukan demi kaburnya sebuah informasi. Tentunya selain fakta sejarah yang penuh konspirasi yang telah kita lalui selama ini, masih banyak peristiwa-peristiwa yang kita anggap berdiri sendiri dan tidak punya keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kita juga tidak mau tahu atau bahkan tidak pernah membayangkannya sekalipun bahwa ada kaitan-kaitan historis dan kepentingan terselubung antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, antara Perang Napoleon di Eropa dengan Perang Sipil di Amerika hingga kejadian-kejadian “aneh” yang melanda negeri ini mulai dari tumbangnya rezim Orde Baru, krisis ekonomi Indonesia 1997 hingga bau busuk bail out Bank Century yang sempat membuat kisruh pemerintahan SBY-Boediono beberapa tahun silam. Namun, seperti biasa, ketika semua itu diperbincangankan atau lebih tepatnya ditelisik keberadaannya, ada saja hal yang membuat sulit, janggal, bahkan aneh hingga intervensi yang pada akhirnya dianggap sebagai opini sampah.
Sejarah masih ingat ketika Gubernur Skandinavia bernama Cherep Spiridovinch yang mati secara misterius yang oleh
New York Times edisi 23 Oktober 1926 penyebab kematiannya karena menghirup racun di Hotel Baret Manor, Staten Island. Seperti diketahui sebelumnya, Spiridovinch menerbitkan buku,
The Hidden Hand, yang mengungkap data dan fakta sejarah sebelum Perang Dunia I. Namun naas, sebelum buku tersebut sempat disebarluaskan, Spiridovinch meregang nyawa terlebih dahulu. Di lain waktu, seorang wartawan Inggris yang diduga mendapatkan masukan dari Spiridovinch juga menerbitkan buku yang memuat seratus peristiwa historis paling misterius di dunia berjudul
The Sceret World Government. Anehnya, buku itu pun sirna setelah beberapa saat menjadi best seller di Eropa
[4].
Monopoli Media
Sebagai implementasi dari grand scenario Yahudi atas protokol-protokol sesatnya, dominasi media dan penyesatan opini telah mempunyai tempat tersendiri bagi mereka. Dalam salah satu skenario mereka disebutkan bahwa dominasi Yahudi harus merambah ke suratkabar sekaligus pengontrolan ketat sebelum berita itu disajikan terus ditingkatkan agar tujuan dari misi mereka tidak terungkap.
Pada tahun 1981 dilakukan survei terhadap lima belas perusahaan penerbitan di Inggris yang mayoritas dikuasai oleh keturunan Yahudi. Kelima belas perusahaan tersebut diantaranya mengelola The Daily Express, The News Chronicle, The Daily Herald, The Manchester Guardian, John Paul, Yorkshire Post, Evening News, The Observer, Sunday Reference, Sunday Express, Sunday Chronicle, The Graphic, The Sunday Bible, dan mingguan Week End dengan oplah luar biasa besarnya. Diperkirakan saat itu, lebih dari tigapuluh juta eksemplar koran, majalah, dan tabloid yang dikuasai Yahudi mencekoki Eropa setiap harinya. Belum lagi media-media seperti Asosiated Press, Agence France Press, Times, Reuters, Independent Televisions News (ITN), CNN, BBC, dan CNBC. Tidak mau ketinggalan media-media nasional mulai dari Tempo, SCTV, RCTI, ANTV hingga yang terbaru MNC TV yang kesemuanya sudah ada campur tangan Yahudi baik melalui George Soros maupun Rupert Murdoch.
Rupert Murdoch adalah raja media asal Amerika yang sudah menanamkan modalnya di ANTV. Begitu juga dengan George Soros juga menebar jalanya melalui PT. Bhakti Investama (BHIT) kemudian melakukan ekspansi bisnis di dunia perbankan hingga perkebunan sawit di Aceh. Setelah jalanya termakan umpan, Soros mulai mengaitkan kail selanjutnya melalui lobi-lobi tingkat tingggi dengan menggunakan startegi B to G (Bussines to Government). Soros diterima dengan leghowo oleh golongan pemerintahan yang sebelumnya dia tidak berani menampakkan batang hidungnya. Namun semua itu berbalik 90 derajat ketika sosok yang disebut-sebut sebagai biang kerok krisis finansial yang melanda Asia, termasuk Indonesia pada tahun 1997 menancapkan hegemoninya. Bahkan kedatangannya nyaris tanpa penolakan khususnya dari kalangan umat Islam. Selain mengekspansi beberapa sektor bisnis dengan profitabilitas tinggi, soros juga mulai mengakuisi sebagian saham PT. Surya Citra yang mengelola SCTV dengan menyuntikkan dana sebesar 100 miliar ke PT. Mitrasari yang memiliki 54% saham PT. Surya Citra.
Dari campur tangan Yahudi yang telah mendominasi, tidak heran jika media-media “binaannya” menyajikan berita tendensius bahkan terkesan melecehkan atau paling tidak sengaja dibesar-besarkan. Lihat saja ketika pemberitaan tentang mantan istri Pangeran Charles, Putri Diana yang diiuskan, dan akhirnya benar-benar nyata, mempunyai hubungan asmara dengan pengusaha keturunan Mesir yang sudah lama menetap di Inggris, Doddy Al-Fayed.
Tak karuan saja,
The Independent Tribune, tabloid pembohong nomor wahid menurunkan berita spekulatif dan dibuat-buat tentang dua sejoli tersebut. “Diana dan Doddy Akan Menikah.” Demikian judul berita yang ditemukan di halaman pertama setelah beberapa hari sebelumnya terbit berita menghebohkan tentang Doddy-Diana oleh
Sunday Mirror. “Diana Bersedia Memeluk Islam.” Judul yang tak kalah menghebohkan terbit edisi selanjutnya. Tak pelak seluruh teras
The Independent Tribune yang sengaja dicetak jutaan itu ludes terjual. Bahkan masih banyak pelanggan yang gigit jari gara-gara tidak mendapatkan
The Independent Tribune pada hari itu. Begitulah seterusnya hari demi hari
The Independent Tribune muncul dengan berita spekulatif selama belum ada berita yang sebenarnya tentang Doddy-Diana. Hal senada juga diikuti oleh
The Mirror Reference,
London Temporer,
Paris Obsessor,
Berlin Holocaust dan tabloid-tabloid “jorok” lainnya yang disebut dengan “Boulevard Paper” atau “Koran Kuning”
[5].
Bahkan setelah “kecelakaan” tragis di terowongan Pont De L’ Alma, Paris pada 31 Agustus 1997 meinmpa dua sejoli ini, pemberitaan tentang keduanya semakin ramai menghiasi halaman demi halaman koran, tabloid, hingga stasiun televisi. Menurut Adian Husaini kematian Doddy-Diana menyebabkan dua diskursus dengan urgensitas tinggi di bidang komunikasi. Pertama, tentang hakikat kebebasan pers. Kedua, munculnya demam Diana, yaitu sebuah fenomena global berupa reaksi berlebihan terhadap Diana
[6].
Belum lagi bila suatu kejadian yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau Islam, justru kezaliman mereka sangat tampak dalam setiap pemberitaannya. Mulai dari pencitraan buruk yang dilakukan media-media Barat pada Islam yang bagi mereka tak ubahnya sebagai agama yang anarkis dengan angka tindakan terorisme tinggi dengan kedok jihad. Selain itu penulisan berita tak berimbang dan cenderung memojokkan kerap kali menghiasi halaman-halaman koran atau majalah yang mereka terbitkan. Contoh “kecilnya” saja ketika isu senjata pemusnah massal Irak muncul di media-media mainstream yang membuat negara-negara Barat kebakaran jenggot sehingga tak ada pilihan lain selain menggempur negeri 1001 Malam itu. Menurut sebagian pengamat, negara-negara Barat takut kehilangan pamor dalam kancah perpolitikan dunia di samping cadangan minyak di negara itu yang sangat menggiurkan. Setelah Irak kalah dalam perang dan negara tersebut menjadi negara boneka Barat (Amerika), hingga saat ini tuduhan itu tidak terbukti bahkan hingga huru-hara di Irak semakin tak terkendali.
Juga peristiwa penabrakan gedung World Trade Center (WTC) New York oleh pesawat tidak dikenal pada 11 September 2001 silam yang masyhur dengan sebutan Black September hingga berujung pada tuduhan tak mendasar pada Islam. Media-media nasional kita juga mengeruk banyak keuntungan dengan pemberitaan FPI yang sangat berlebihan. Peristiwa berdarah di Sampang 2012 silam yang menyebabkan ketegangan di sana-sini, peledakan bom di Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002, peledakan bom di Hotel JW. Marriot pada 5 Agustus 2003, pengeboman di depan kantor Kedubes Australia pada 9 September 2004 yang semuanya dituduhkan pada teroris Islam Radikal. Alhasil stigma negatif pada Islam tercetak tebal menghiasi halaman demi halaman media-media “asuhan” Yahudi itu.
Konklusinya menimbulkan kebencian, sikap antipati, dan berbagai cap negatif lainnya. Sebagai konsekuensi logis dari “fenomana” tersebut, dibutuhkan media penyeimbang atau paling tidak media perlawanan dengan transparansi penuh dengan mengusung asas Jurnalis Islami. Yaitu pandangan-pandangan dengan dasar Islam serta sesuai dengan kaidah pemberitaan Islam yang berlandaskan pada idealisme jurnalis Islam sejati.
Islam dan Pers
Prinsip yang sudah lumrah didoktrinkan pada jurnalis dalam hubungannya dengan berita adalah sikap skeptis terhadap suatu kejadian. Skeptis sendiri berarti sikap kiritis serta upaya klarifikasi dan konfirmasi terhadap sumber berita sebelum dihidangakan kepada sidang pembaca. Dengan metode seperti itu, seorang jurnalis akan menyajikan berita garapannya dengan apa adanya sehingga melalui hasil metode hunting berita seperti ini akan menghasilkan berita yang bebas nilai.
Beda halnya dengan Islam yang tidak hanya mengedepankan konsep skeptis pada suatu kejadian, lebih dari itu Islam lebih cenderung ber-tabayyun, konsep ini termaktub dalam surat al-Hujurat ayat 6. Dengan konsep seperti ini, ada hal yang diperjuangakan dari nilai-nilai tersebut yaitu kebenaran.
Jika sikap skeptis hanya menghasilkan informasi yang berimbang, tabayyun membuahkan informasi yang benar. Jika sikap skeptis hanya sampai pada klarifikasi dan konfirmasi, maka tabayyun melakukan verifikasi bukan hanya atas informasi tapi juga terhadap siapa yang menyampaikannya. Dengan proses tabayyun seperti itu, maka kebenaran berita akan terungkap.
Di abad ke-21 ini media-media telah kehilangan ruhnya, skeptis tidak apalagi tabayyun. Rasa tanggung jawab dan idealisme jurnalis sejati telah terkorbankan dengan amplop dan kepentingan-kepentingan lainnya. Apalagi rasa sentimen Islam lebih memperkeruh suasana sehingga meminjam istilah yang dikatakan Remy Silado sebagai gejala Two Lenguages.
Sebagai solusi, kita harus menghimpun kekuatan dengan media-media Islam sebagai “amunisinya” untuk memberikan informasi yang benar adanya tanpa merugikan pihak manapun. Di samping itu, penguatan jiwa yang menurut Ary Ginanjar Agustian sebagai God Spot, nurani, dengan mengimplementasikan al-Quran serta ajaran Rasulullah dalam sendi-sendi pers menjadi kewajiban bagi setiap pengelola media. Pemupukan nilai-nilai luhur Islam pada seorang juranalis juga tak kalah pentingnya sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Mehmed atau Muhammad al-Fatih yang mengajarkan nilai-nilai Islam pada tentara jenisarinya ketika penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 M.
Ketika Yahudi mencengkram media dengan hegemoninya, tidak ada jalan lain selain melakukan tandingan. Karena mereka tidak akan rela Islam jaya sehingga kita mengikuti agama mereka. Bila ketakutan yang amat sangat menimpa Napoleon Bonaparte terhadap media sehingga dia memilih berperang dengan bayonet dari pada melawan tiga koran, ketakutan seperti itu tidak akan terjadi pada umat Islam bila kita mempunyai media-media yang kuat sehingga tercapailah apa yang disebut Islamic Journalist World View. Sampaikan yang benar meskipun satu huruf.