Jumat, 19 Mei 2017

Aku Cinta Tuhan

Ya Allah apapun yang akan Engkau
karuniakan padaku di dunia ini
berikanlah pada musuh-musuh-Mu
Dan apapun yang Engkau
karuniakan padaku di akhirat nanti
berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena sendiri cukuplah bagiku
Barangkali nama Rabi’ah al-Adawiyah tidak terlalu asing di telinga manakala namanya disebut. Ketulusan dan kesalehan dengan ruh cinta untuk-Nya membuat Rabi’ah dianggap sebagai perintis dan pengembang cinta Ilahi di kalangan sufi yang sebelumnya hanya menitikberatkan pada dua konteks; khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan). Bila Hasan al-Bashri merintis kehidupan sufistik berdasarkan rasa takut dan harap, Rabi’ah membuka jalan kepada Allah swt. dengan ekspresi cinta yang mendalam sebagaimana Rabi’ah ungkapkan dalam puisinya;
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka…
Bukan pula karena mengharap masuk surga…
Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka
Biarkan aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi , jika aku menyembah-Mu demi engkau semata
Janganlah engkau enggan memperlihatkan keindahan-Mu yang abadi padaku
Cinta dipahami dan dinikmati Rabi’ah hanya untuk-Nya, persaan cinta Ilahi yang Rabi’ah ungkapkan dalam bentuk puisi maupun prosa secara filosofis dengan kelindan yang indah mengantarkan Rabi’ah kepada penyaksian dalam kesatuan secara intuitif.
Memang sebelumnya konsep cinta Ilahi bukanlah hal baru dalam dunia sufi Islam. Kita mengenal Umar ibn al-Farid sufi Arab paling menonjol yang juga menggunakan cinta dalam mengekspresikan kehambaannya. Dalam khazanah sufi Persia, Jaluddin Rumi dipandang sebagai penyair cinta yang paling fenomenal bahkan hingga kini komunitas Rumi dan puisi sufistik cintanya terus menggema. Atau al-Hallaj yang juga memakai cinta dalam bentuk puisi dan prosa yang menggetarkan. Sedangkan Yahya bin Muadz al-Razi mengekspresikan cintanya dalam puisi dengan komposisi yang jelas dan kompleks.
Namun Rabi’ah, sebagaimana penuturan Syekh Abu al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani dalam kitabnya, Madkhal I’la al-Tashawuf al-Islam, tidak hanya mempopulerkan cinta Ilahi dalam konsep sebagaimana para sufi di atas mengekspresikannya, ia lebih berbeda dari yang lain karena analisis dan pendefinisian cinta dalam bentuk nyata serta menguraikannya dalam bentuk yang luar biasa membuatnya menjadi analogi tersendiri terhadap kata cinta dalam dunia sufi.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah simbol cinta dan hati yang sunyi dari hal apapun selain-Nya. Kesehariannya tidak pernah kering dengan perasaan cinta melebihi tingkatan ‘isyq (cinta gila). Karena cintanya, Rabi’ah selalu bertanya-tanya apakah yang telah dilakukannya mendapat Ridha-Nya ata tidak. Ketika masih berstatus budak, ketika kesedihan dan keterbelengguan dalam perbudakan memenjarakannya dalam sepi, ketika kesendirian menjadi bara yang enggan padam. Hingga kesabaran dan kerelaan yang dimilikinya untuk menanggung penderitaan dan rasa khawatirnya, ia bersenandung;
… dengan demikian aku tidak kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku. Karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan jawabannya; apakah Engkau ridha akan aku?
Baginya keresahan dan kesedihan melebihi apapun yang ada di dunia ini selain mejauhnya ridha dari Allah swt, karenanya cinta bagi Rabi’ah sendiri tidak bisa didefinisikan dan tidak bisa dikaitkan dengan apapun, karena cinta baginya adalah untuk Allah swt. semata. Cinta memang tumbuh dari dalam hatinya ketika masih di usia ketika cinta masih begitu tabu bagi seorang anak kecil. Ketika masih belia Rabi’ah sering menangis tanpa sebab apapun. Hal itu membuat ‘Abidah, kakaknya, merasa heran dan menegurnya. Di sela-sela isak tangisnya Rabi’ah menjawab, “Aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali. Seolah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat dalam pendengaranku yang tidak bisa aku hadapi kecuali dengan mengucurkan air mata.”
Begitulah ketika cinta menguasai seseorang yang menjelma menjadi semacam pendorong untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya kapanpun dia berada dan bagaimanapun keadaannya, karena Ia hanya cukup bagi seseorang yang mencintai-Nya dengan hati yang sepi dari hal-hal yang membuatnya lalai dan lupa kepada-Nya. Sebagaimana penuturan sufi kenamaan, Syekh Yazid al-Busthami bahwa, cinta adalah mengabaikan hal-hal sebesar apa pun yang datangnya dari dirimu dan memandang besar hal-hal kecil apapun yang datang dari Kekasihmu.  Semoga kita mendapatkan cinta yang diteladankan mereka.[]

Tentang Yahudi, Monopoli, dan Kejahatan Sejarah

#Protocol 02
Kita harus membentuk opini publik melalui surat-surat kabar kepada orang-orang non-Yahudi.
#Protocol 07
Kita harus berani mendorong masyarakat Eropa dan selalu membantu menyebarkan isu buruk dan berbau permusuhan dengan penduduk yang tinggal di benua lain. 
Itulah sebagian dari skenario besar, grand scenario, yang telah menemukan bentuknya untuk menghancurkan negara-negara besar, agama, serta bangsa-bangsa di dunia guna menciptakan Tata Dunia Baru (New World Order) sebagai implementasi dari Pemerintahan Satu Dunia (One-World Government) yang terpampang jelas di segel mata uang Amerika Serikat. Skenario besar ini dicetuskan oleh Adam Weishaupt, seorang tokoh pendeta Kristen sekaligus Guru Besar bidang hukum di Universitas Inglecot, Jerman. Tahun 1770 dia memulai kontak dengan tokoh-tokoh Yahudi Jerman untuk mendirikan apa yang dikenal dengan Secret Order of Bavarian Illuminati. Dari kontak-kontak itulah sebuah skenario besar dirancang berdasarkan peninjauan ulang kitab protokol-protokol Zion klasik sebagai langkah untuk menguasai dunia yaitu dengan meletakkan paham Ateisme. Lebih lanjut lagi tujuan utama dari misi tersebut adalah dengan menghancurkan agama selain Yahudi, menyulut api peperangan, pembunuhan, di samping menghancurkan pemerintah berlandaskan prinsip kemanusiaan[1]. Pada tanggal 1 Mei 1776 skenario besar itu terbentuk serta merupakan tanggal yang dipakai oleh kaum Komunis sebagai Hari Buruh Internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan dunia. Skenario itu dikembangkan lagi menjadi 24 protokol Zionis pada konferensi Zionis Internasional pertama di Bassel, Swiss tahun 1897.
Ironisnya skenario ini tidak terendus atau memang sengaja dihilangkan jejaknya untuk dideteksi alih-alih bagi kalangan akar rumput, grass root, sebagaimana yang telah dikehendaki oleh kaum Zionis[2]. Di antara pengkaburan yang mereka lakukan adalah bersikap sebagai “pengamat” atau “penulis” tentang Lucifer, Illuminati[3] atau sempalan-sempalan Yahudi lainnya yang beraliran satanis yang netral. Cara lain yang mereka lakukan yaitu dengan cara memberikan stigma positif terhadap tubuh Illuminati sendiri atau menganggap kelompok ini sudah tiada dan hanya sempat berjaya di abad ke-18 saja. Dampak dari trik keji tersebut tidak sedikit ilmuan kaliber dunia terkecoh olehnya, sehingga mereka menerima saja julukan “Abad Pencerahan” sebagai representasi masa-masa munculnya Illuminati.
Maka tak heran jika dunia dibuat rabun oleh Revolusi Bolshevik di Rusia yang konon didapuk sebagai revolusi paling heroik dalam sejarah. Dan tahukan kita bahwa dari revolusi itu berdiri Illuminati dan Zionisme Internasional dengan satu kepentingan sambil menunggangi Freemasonry untuk menghancurkan kekaisaran Rusia sekaligus agama Katolik Ortodoks dengan tujuan menciptakan negara komunis di Rusia yang dasarkan pada Marxisme sebagai produk dari jerih payah Yahudi memeras otak Karl Marx. Uniknya lagi dalam revolusi untuk menggulingkan pemerintahan Tsar Nicolas II, kaisar Rusia, mereka menggerakkan lebih dari satu juta lebih orang keturunan Yahudi-Rusia yang dimobilisasi dalam pergolakan berdarah tersebut.
Begitulah cara-cara yang dilakukan oleh kelompok Zionis untuk menciptakan Pemerintah Satu Dunia, E Pluribus Unum, dan masih banyak lagi cara-cara kotor untuk menggulingkan penguasa sah secara subversif demi hanya gara-gara tidak sepaham atau tidak mau diajak “berkompromi” dengan Yahudi. Dengan baju revolusi, The Glorious Revolution, Zionis-Yahudi mendalangi sejumlah pemberontakan dengan kedok revolusi mulai dari Revolusi Perancis, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Amerika yang ujung-ujungnya adalah “Revolusi Ateisme” yang muncul sebagai agama baru yang “anti agama”.
Sebagai jalan alternatif untuk memuluskan akal busuk mereka, kaum Zionis menyuntikkan ideologi-ideologi “karbitan” yang masuk melalui pembuluh kapiler kehidupan melalui tangan-tangan Darwin, Marx hingga Nitze sehingga pandangan-pandangan mereka mampu menggoyahkan masyarakat dunia. Bagi mereka ajaran seperti itu mudah diterima bagi orang yang tidak menjalankan ajaran agama yang oleh Yahudi telah disesatkan dengan FashionFunFood, dan Sex yang ujung-ujungnya goyim, sebutan bagi kelompok selain Yahudi, lalai dalam menjalankan perintah ajaran agama yang disadari atau tidak menggiring pada terlepasnya sebuah agama bagi kehidupan. Agama terlucuti dengan halusnya.
Kebusukan-kebusukan yang dilakukan oleh Zionis di atas terpendam dalam kesepian setelah media-media mereka melaksanakan tugasnya, konspirasi zionistik yang khas yang kerap kali dilakukan demi kaburnya sebuah informasi. Tentunya selain fakta sejarah yang penuh konspirasi yang telah kita lalui selama ini, masih banyak peristiwa-peristiwa yang kita anggap berdiri sendiri dan tidak punya keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kita juga tidak mau tahu atau bahkan tidak pernah membayangkannya sekalipun bahwa ada kaitan-kaitan historis dan kepentingan terselubung antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, antara Perang Napoleon di Eropa dengan Perang Sipil di Amerika hingga kejadian-kejadian “aneh” yang melanda negeri ini mulai dari tumbangnya rezim Orde Baru, krisis ekonomi Indonesia 1997 hingga bau busuk bail out Bank Century yang sempat membuat kisruh pemerintahan SBY-Boediono beberapa tahun silam. Namun, seperti biasa, ketika semua itu diperbincangankan atau lebih tepatnya ditelisik keberadaannya, ada saja hal yang membuat sulit, janggal, bahkan aneh hingga intervensi yang pada akhirnya dianggap sebagai opini sampah.
Sejarah masih ingat ketika Gubernur Skandinavia bernama Cherep Spiridovinch yang mati secara misterius yang oleh New York Times edisi 23 Oktober 1926 penyebab kematiannya karena menghirup racun di Hotel Baret Manor, Staten Island. Seperti diketahui sebelumnya, Spiridovinch menerbitkan buku, The Hidden Hand, yang mengungkap data dan fakta sejarah sebelum Perang Dunia I. Namun naas, sebelum buku tersebut sempat disebarluaskan, Spiridovinch meregang nyawa terlebih dahulu. Di lain waktu, seorang wartawan Inggris yang diduga mendapatkan masukan dari Spiridovinch juga menerbitkan buku yang memuat seratus peristiwa historis paling misterius di dunia berjudul The Sceret World Government. Anehnya, buku itu pun sirna setelah beberapa saat menjadi best seller di Eropa[4].
Monopoli Media
Sebagai implementasi dari grand scenario Yahudi atas protokol-protokol sesatnya, dominasi media dan penyesatan opini telah mempunyai tempat tersendiri bagi mereka. Dalam salah satu skenario mereka disebutkan bahwa dominasi Yahudi harus merambah ke suratkabar sekaligus pengontrolan ketat sebelum berita itu disajikan terus ditingkatkan agar tujuan dari misi mereka tidak terungkap.
Pada tahun 1981 dilakukan survei terhadap lima belas perusahaan penerbitan di Inggris yang mayoritas dikuasai oleh keturunan Yahudi. Kelima belas perusahaan tersebut diantaranya mengelola The Daily ExpressThe News ChronicleThe Daily HeraldThe Manchester GuardianJohn PaulYorkshire PostEvening NewsThe ObserverSunday ReferenceSunday ExpressSunday ChronicleThe GraphicThe Sunday Bible, dan mingguan Week End dengan oplah luar biasa besarnya. Diperkirakan saat itu, lebih dari tigapuluh juta eksemplar koran, majalah, dan tabloid yang dikuasai Yahudi mencekoki Eropa setiap harinya. Belum lagi media-media seperti Asosiated PressAgence France PressTimesReutersIndependent Televisions News (ITN), CNN, BBC, dan CNBC. Tidak mau ketinggalan media-media nasional mulai dari Tempo, SCTV, RCTI, ANTV hingga yang terbaru MNC TV yang kesemuanya sudah ada campur tangan Yahudi baik melalui George Soros maupun Rupert Murdoch.
Rupert Murdoch adalah raja media asal Amerika yang sudah menanamkan modalnya di ANTV. Begitu juga dengan George Soros juga menebar jalanya melalui PT. Bhakti Investama (BHIT) kemudian melakukan ekspansi bisnis di dunia perbankan hingga perkebunan sawit di Aceh. Setelah jalanya termakan umpan, Soros mulai mengaitkan kail selanjutnya melalui lobi-lobi tingkat tingggi  dengan menggunakan startegi B to G (Bussines to Government). Soros diterima dengan leghowo oleh golongan pemerintahan yang sebelumnya dia tidak berani menampakkan batang hidungnya. Namun semua itu berbalik 90 derajat ketika sosok yang disebut-sebut sebagai biang kerok krisis finansial yang melanda Asia, termasuk Indonesia pada tahun 1997 menancapkan hegemoninya. Bahkan kedatangannya nyaris tanpa penolakan khususnya dari kalangan umat Islam. Selain mengekspansi beberapa sektor bisnis dengan profitabilitas tinggi, soros juga mulai mengakuisi sebagian saham PT. Surya Citra yang  mengelola SCTV dengan menyuntikkan dana sebesar 100 miliar ke PT. Mitrasari yang memiliki 54% saham PT. Surya Citra.
Dari campur tangan Yahudi yang telah mendominasi, tidak heran jika media-media “binaannya” menyajikan berita tendensius bahkan terkesan melecehkan atau paling tidak sengaja dibesar-besarkan. Lihat saja ketika pemberitaan tentang mantan istri Pangeran Charles, Putri Diana yang diiuskan, dan akhirnya benar-benar nyata, mempunyai hubungan asmara dengan pengusaha keturunan Mesir yang sudah lama menetap di Inggris, Doddy Al-Fayed.
Tak karuan saja, The Independent Tribune, tabloid pembohong nomor wahid menurunkan berita spekulatif dan dibuat-buat tentang dua sejoli tersebut. “Diana dan Doddy Akan Menikah.” Demikian judul berita yang ditemukan di halaman pertama setelah beberapa hari sebelumnya terbit berita menghebohkan tentang Doddy-Diana oleh Sunday Mirror. “Diana Bersedia Memeluk Islam.” Judul yang tak kalah menghebohkan terbit edisi selanjutnya. Tak pelak seluruh teras The Independent Tribune yang sengaja dicetak jutaan itu ludes terjual. Bahkan masih banyak pelanggan yang gigit jari gara-gara tidak mendapatkan The Independent Tribune pada hari itu. Begitulah seterusnya hari demi hari The Independent Tribune muncul dengan berita spekulatif  selama belum ada berita yang sebenarnya tentang Doddy-Diana. Hal senada juga diikuti oleh The Mirror ReferenceLondon TemporerParis ObsessorBerlin Holocaust dan tabloid-tabloid “jorok” lainnya yang disebut dengan “Boulevard Paper” atau “Koran Kuning”[5].
Bahkan setelah “kecelakaan” tragis di terowongan Pont De L’ Alma, Paris pada 31 Agustus 1997 meinmpa dua sejoli ini, pemberitaan tentang keduanya semakin ramai menghiasi halaman demi halaman koran, tabloid, hingga stasiun televisi. Menurut Adian Husaini kematian Doddy-Diana menyebabkan dua diskursus dengan urgensitas tinggi di bidang komunikasi. Pertama, tentang hakikat kebebasan pers. Kedua, munculnya demam Diana, yaitu sebuah fenomena global berupa reaksi berlebihan terhadap Diana[6].
Belum lagi bila suatu kejadian yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau Islam, justru kezaliman mereka sangat tampak dalam setiap pemberitaannya. Mulai dari pencitraan buruk yang dilakukan media-media Barat pada Islam yang bagi mereka tak ubahnya sebagai agama yang anarkis dengan angka tindakan terorisme tinggi dengan kedok jihad. Selain itu penulisan berita tak berimbang dan cenderung memojokkan kerap kali menghiasi halaman-halaman koran atau majalah yang mereka terbitkan. Contoh “kecilnya” saja ketika isu senjata pemusnah massal Irak muncul di media-media mainstream yang membuat negara-negara Barat kebakaran jenggot sehingga tak ada pilihan lain selain menggempur negeri 1001 Malam itu. Menurut sebagian pengamat, negara-negara Barat takut kehilangan pamor dalam kancah perpolitikan dunia di samping cadangan minyak di negara itu yang sangat menggiurkan. Setelah Irak kalah dalam perang dan negara tersebut menjadi negara boneka Barat (Amerika), hingga saat ini tuduhan itu tidak terbukti bahkan hingga huru-hara di Irak semakin tak terkendali.
Juga peristiwa penabrakan gedung World Trade Center (WTC) New York oleh pesawat tidak dikenal pada 11 September 2001 silam yang masyhur dengan sebutan Black September hingga berujung pada tuduhan tak mendasar pada Islam. Media-media nasional kita juga mengeruk banyak keuntungan dengan pemberitaan FPI yang sangat berlebihan. Peristiwa berdarah di  Sampang 2012 silam yang menyebabkan ketegangan di sana-sini, peledakan bom di Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002, peledakan bom di Hotel JW. Marriot pada 5 Agustus 2003, pengeboman di depan kantor Kedubes Australia pada 9 September 2004 yang semuanya dituduhkan pada teroris Islam Radikal. Alhasil stigma negatif pada Islam tercetak tebal menghiasi halaman demi halaman media-media “asuhan” Yahudi itu.
Konklusinya menimbulkan kebencian, sikap antipati, dan berbagai cap negatif lainnya. Sebagai konsekuensi logis dari “fenomana” tersebut, dibutuhkan media penyeimbang atau paling tidak media perlawanan dengan transparansi penuh dengan mengusung asas Jurnalis Islami. Yaitu pandangan-pandangan dengan dasar Islam serta sesuai dengan kaidah pemberitaan Islam yang berlandaskan pada idealisme jurnalis Islam sejati.
Islam dan Pers
Prinsip yang sudah lumrah didoktrinkan pada jurnalis dalam hubungannya dengan berita adalah sikap skeptis terhadap suatu kejadian. Skeptis sendiri berarti sikap kiritis serta upaya klarifikasi dan konfirmasi terhadap sumber berita sebelum dihidangakan kepada sidang pembaca. Dengan metode seperti itu, seorang jurnalis akan menyajikan berita garapannya dengan apa adanya sehingga melalui hasil metode hunting berita seperti ini akan menghasilkan berita yang bebas nilai.
Beda halnya dengan Islam yang tidak hanya mengedepankan konsep skeptis pada suatu kejadian, lebih dari itu Islam lebih cenderung ber-tabayyun, konsep ini termaktub dalam surat al-Hujurat ayat 6. Dengan konsep seperti ini, ada hal yang diperjuangakan dari nilai-nilai tersebut yaitu kebenaran.
Jika sikap skeptis hanya menghasilkan informasi yang berimbang, tabayyun membuahkan informasi yang benar. Jika sikap skeptis hanya sampai pada klarifikasi dan konfirmasi, maka tabayyun melakukan verifikasi bukan hanya atas informasi tapi juga terhadap siapa yang menyampaikannya. Dengan proses tabayyun seperti itu, maka kebenaran berita akan terungkap.
Di abad ke-21 ini media-media telah kehilangan ruhnya, skeptis tidak apalagi tabayyun. Rasa tanggung jawab dan idealisme jurnalis sejati telah terkorbankan dengan amplop dan kepentingan-kepentingan lainnya. Apalagi rasa sentimen Islam lebih memperkeruh suasana sehingga meminjam istilah yang dikatakan Remy Silado sebagai gejala Two Lenguages.
Sebagai solusi, kita harus menghimpun kekuatan dengan media-media Islam sebagai “amunisinya” untuk memberikan informasi yang benar adanya tanpa merugikan pihak manapun. Di samping itu, penguatan jiwa yang menurut Ary Ginanjar Agustian sebagai God Spot, nurani, dengan mengimplementasikan al-Quran serta ajaran Rasulullah  dalam sendi-sendi pers menjadi kewajiban bagi setiap pengelola media. Pemupukan nilai-nilai luhur Islam pada seorang juranalis juga tak kalah pentingnya sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Mehmed atau Muhammad al-Fatih yang mengajarkan nilai-nilai Islam pada tentara jenisarinya ketika penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 M.
Ketika Yahudi mencengkram media dengan hegemoninya, tidak ada jalan lain selain melakukan tandingan. Karena mereka tidak akan rela Islam jaya sehingga kita mengikuti agama mereka. Bila ketakutan yang amat sangat menimpa Napoleon Bonaparte terhadap media sehingga dia memilih berperang dengan bayonet  dari pada melawan tiga koran, ketakutan seperti itu tidak akan terjadi pada umat Islam bila kita mempunyai media-media yang kuat sehingga tercapailah apa yang disebut Islamic Journalist World ViewSampaikan yang benar meskipun satu huruf.

Kyai, Santri, dan Politik

ebuah Refleksi Elite Pesantren dalam Percaturan Sejarah Politik Indonesia
Kyai dan santri merupakan dua elemen magnetis yang dimiliki pesantren.Dengannya sebuah pendidikan keagamaan di pesantren berjalan selaras dengan ideologi dan ciri khas masing-masing. Kyai tidak hanya menjadi tokoh sentral yang menjadi ujung tombak perjalanan sebuah pesantren di sisi lain dia  menjadi semacam “mediator” antara kita dengan Tuhan. Di dunia sosial pun kyai berperan sebagai arbitrator dari masyarakat sekitar pesantren. Sebuah peran yang multifungsi. Dalam perjalanan sejarahnya, Wali Songo menjadi peletak batu pertama perintisan pesantren di Tanah Air. Bermula dari surau sederhana, mereka menanamkan nilai-nilai Islam. Hingga beberapa abad kemudian perkembangan pesantren menjadi lebih sistemik dan kompleks dengan metodologi pembelajaran yang semakin variatif dan sistematif dengan sosok kyai yang tetap menjadi panutannya namun tidak meninggalkan peran dasar sebagai kyai (saat ini sebagian dari mereka menjadi lebih luwes “bergerak”, dan tentu saja dengan berbagai macam varian “fungsi”).
Indonesia, dengan sistem demokrasinya menjadi sebuah negara dengan politik praktis yang diperhitungkan. Terbukti, ketika Indonesia menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945 silam Belanda tidak sertamerta menerima kenyataan itu. Secara sporadis, negeri Kincir Angin itu melakukan invasi lanjutan untuk merebut Indonesia kembali. Namun para pejuang kemerdekaan yang mayoritas dari golongan pesantren tidak tinggal diam. Berbagai perlawanan dilancarakan di berbagai daerah di Tanah Air, hingga akhirnya Indonesia benar-benar merdeka dengan ditandatanganinya perjanjian Linggar Jati di Den Hag, Belanda oleh Bung Karno. Indonesia pascakemerdekaan tidakpernahlepasdariperankyaisebagaipemangkupesantren, demi tercapainyanegaradenganasas yang benar-benarpancasila. Kita tentutahu, Prof. Dr. Buya Hamka adalah kyai dan sejarawan, R.K.H Abdullah bin Nuh adalah seorang kyai sekaligus dosen di Universitas Indonesia. Jauh sebelum mereka, Sentot Alibasah Prawirodirdjo adalah seorang pembaru Islam sekaligus Bupati Madiun. Di tangannya, Lasjkar Diponegoro menewaskan 8000 serdadu Belanda. Mereka adalah kyai (tidak semua kiyai harus punya pesantren) yang ikut terjun langsung “menyemarakkan” Indonesia dengan asa yang benar-benar pancasila. Hingga era reformasi, kita mengenal  KH. Abdurrahman Wahid, KH. Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amin dan sederetan tokoh intelektual “asli” pesantren lainnya yang secara langsung ikut membangun negeri ini.
***
Kiyai dan politik di satu sisi adalah sebuah fusi dan menghasilakan nukleus berupa negeri yang benar-benar ber-pancasila. Tentu hal itu tidak tercapai tanpa perjuangan seorang ulama (dengan tidak menafikan pejuang yang lain). Bagaimana dengan santri? Sebagai ujung tombak dari konklusi perjuangan itu, santri “wajib” menghargai, menghayati dengan merefleksikan jasa-jasa mereka dalam kehidupan madani. Dengan santri negeri kita abadi. Santri, a life and death struggle!

Wajib Belajar Sastra

Menyikapi kearifan estetika dunia Islam, satrawan santri harus bicara.
Berbicara sastra berarti berbicara tentang estetika atau keindahan. Keindahan, tentu saja unsur yang penting bagi kehidupan. Bukankah Allah itu Indah dan suka pada Keindahan, begitulah salah satu maqolah arab yang masyhur. Dalam penerapannya secara ideal sastra merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan. Hal itu karena sastra mampu memberikan wajah-wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan (Azzah Zain al-Hasany, 2007).
Dalam kaitannya dengan sastra ala santri kita akan menyelami sastra dan urgensitasnya dengan agama sebagai dasar primordialnya. Santri sebagai pemegang tongkat estafet tunggal para ulama secara mayoritas akan bersentuhan langsung dengan dimensi sosial. Dengan adanya tugas seperti itu santri, harus menonjolkan sifat sosial yang kuat serta tidak individualistik. Bila ditarik ke ranah seni, individu jenis ini tidak hanya memandang seni hanya tidak untuk kesenangan belaka. Akan tetapi seni harus memberikan kontribusi positif bagi penikmatnya. Unsur akhlak, tauhid, atau yang lainnya bisa disuntikkan dalam karya ini sekiranya bisa berdampak positif bagi pembacanya. Penyair ini termasuk penyair beriman yang senantiasa melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Penyair seperti ini yang disinggung dalam ayat: “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat di mana mereka kembali.” (asy-Syu’araa:227)
Sejarah mencatat dalam perkembangan kesusastraan pesantren (islami) tokoh Islam awal di Tanah Air merupakan peletak batu pertama sastra islami. Hal itu diilhami ketika para saudagara dari timur tengah maupun india berbondong-bondong datang ke Indonesia (waktu itu Hindia Belanda). Maka tak heran kita mengenal Hamzah Fansuri dengan Syarabul Asyiqin-nya atau Syamsuddin al-Sumatrani dengan Mi’rat al-Imam-nya. Di abad ke-20 puluh kita mengenal Haji Abdul Malik Amrullah (HAMKA) dengan karya monumentalnya Tafsir al-Azhar dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Hingga abad ke-21 sastra islami semakin menemukan ruhnya. Hal itu ditandai ketika kumpulan cerpen Helvy Tiana Rosa, Ketika Mas Gagah Pergi. Secara tidaklangsung Helvy menandai ghirah sastra islami semakin mengembangkan sayapnya.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita terus berpangku tangan? Sudah saatnya santri ikut meramaikan perkembangan ini. Dakwah yang tidak perlu mengerutkan dahi untuk memahami apa yang disampaikan.  Bukankah al-Quran merupakan  puncak selera sastra. Sampai kapan kita mau berdakwah dengan metode konvensional yang menjenuhkan itu? Ayo mulai saat ini kuatkan tekat, singsingkan lengan, gantungkan semangat. Saatnya kita berdakwah dengan sastra. Bukankah Allah tidak memberatkan hambanya dalam hal ibadah. Termasuk berdakwah. Apalagi dengan sastra.[]

Laila binti Ashim, Ibunda Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz

Namanya Laila binti Ashim bin Umar bin Khaththab ra. Sejarah akrab memanggilnya Ummu Ashim. Ibunya bernama Ummu Amarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi’ah as-Tsaqafy. Tidak hanya mata rantai nasabnya yang mulia, budi pekerti dan sejarah hidupnya terekam rapi dalam tinta emas sejarah.
Ummu Amarah adalah wanita yang menolak saran ibunya untuk mencampur susu perahan dengan air di tengah malam yang larut. Dengan polos beliau menjawab, “Wahai ibuku, seandainya Umar tidak melihat kita, akan tetapi Tuhan Umar melihat kita. Sungguh demi Allah swt., saya tak akan melakukannya. Dia juga melarang perbuatan itu!” Diam-diam Sayyidina Umar mendengar percakapan mereka yang kebetulan lewat di dekat rumah mereka. Kemudian beliau menuju Masjid Nabawi dan shalat bersama sahabat yang lain. Kemudian beliau pulang dan memanggil Ashim, putranya dan menyuruhnya mengawini gadis tadi.
Ummu Ashim tumbuh dalam suasana ketakwaan yang suci oleh keluarga-keluarga yang saleh. Ia berkembang di masa mudanya pada kecintaan terhadap ilmu. Ia berguru langsung  kepada ayahnya, Ashim, dan meriwayatkan hadits darinya. Ummu Ashim adalah seorang yang berperilaku baik, jernih jiwanya, suci hatinya dan beriman kepada Allah swt. dengan benar.
Ummu Ashim memancarkan sifat dan karakter yang mulia dari kedua orangtuanya dan dari kakeknya, Umar bin Khaththab ra. sehingga menjadikannya berada dalam barisan terdepan wanita-wanita tabi’in pilihan.
Rasulullah saw. bersabda, “Cari-carilah yang terbaik untuk persemian benih kalian dan nikahilah wanita yang kufu’,” (HR. Ibnu Majah). Dari hadits tersebut Nabi saw.  menganjurkan kepada orang yang ingin menikah agar memilih wanita didasarkan pada akhlak mulia, kesalehan dan kemurnian nasabnya serta mempunyai pendidikan yang baik agar menghasilkan keturunan dengan akhlak terpuji. Barangkali atas dasar itulah Abdul Aziz bin Marwan, salahsatu dari keturunan Bani Umayah, tidak segan-segan memilih harta terbaiknya dan menyiapkan 400 dinar untuk maskawain pernikahannya. Abdul Aziz tidak memberikan kriteria njlimet sebagaimana pejabat atau pembesar pada umumnya, seperti kecantikan dan status sosial. Beliau hanya ingin ‘wadah’ yang baik dari keturunan yang baik pula.
Maka dipilihlah Laila binti Ashim, wanita salehah dari keluarga Khaththab. Bukan tanpa alasan mengapa pilihan jatuh pada gadis tersebut. Keluarga Khaththab dipandang sebagai keluarga yang memperhatikan ilmu dan pendekatan pada Allah swt.  Sifat zuhud juga menjadi ciri khas keluarga ini. Begitu juga dengan Ummu Ashim sendiri yang mewarisi ketakwaan dari ibu dan ayahnya. Karenanya Allah swt. manganugerahkan nikmat berupa harta yang baik dan halal untuk menjadi maskawin dalam pernikahannya dengan Abdul Aziz.
Dari hasil pernikahannya dengan Abdul Aziz, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, kelak ia menjadi khalifah dari dinsati Umayah, seorang khalifah yang zuhud, bertakwa, dan wara’. Dengan anugerah Allah swt. ini, Ummu Ashim tidak menyia-nyiakan amanah yang diberikan Allah swt. kepadanya. Beliau mendidik Umar kecil dengan kasih sayang penuh dengan memberikan perhatian semaksimal mungkin.
Pada suatu hari, tanpa sepengetahuannya, Umar masuk ke kandang kuda. Kemudian kuda  tersebut menyerang Umar hingga terluka dan meninggalkan bekas dikeningnya. Mengetahuinya, Ummu Ashim meraih anak tercintanya itu dan menyeka darah yang keluar dari kening anaknya tersebut. Sadar akan kelengahannya dalam mengawas Umar, Ummu Ashim sangat menyesali kelalaiannya tersebut.
Dalam Tarikh ath-Thabari disebutkan, dari kejadian tersebut Abdul Aziz berkata kepada istrinya, “Diamlah wahai Ummu Ashim! Berbahagialah seandainya anakmu ini menjadi satu dari Bani Umayah yang mempunyai bekas luka dikepalanya.” Dan benar saja, kelak Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah yang adil sebagaimana yang juga diprediksikan buyutnya, Umar bin Khaththab ra.
Ummu Ashim terkenal dermawan apalagi pada golongan lemah. Kebaikan hatinya senantiasa ia curahkan terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangannya. Syahdan, suatu ketika Ummu Ashim bertemu dengan orang miskin di Mesir. Ia mencegatnya dan berbaik hati padanya lalu memberikan sesuatu padanya. Setiap kali bertemu dengan orang miskin tersebut, ia selalu berbuat baik padanya. Hal itu terus berlangsung hingga Ummu Ashim wafat.
Kemudian Abdul Aziz bin Marwan menikahi adik perempuan Ummu Ashim, Hafshah binti Ashim. Setelah itu ia membawa istrinya tersebut ke Mesir. Suatu hari Hafshah bertemu dengan orang miskin yang sering meminta-meminta kepada Ummu Ashim dulu. Namun ia tidak menoleh kepadanya kemudian orang miskin itu berkata, “Hafshah tidak seperti Ummu Ashim dalam hal kemuliaan, kebaikan, dan kedermawanannya.”
Semoga Allah swt. merahmati Ummu Ashim dan menerangi kuburnya serta kebaikannya ditiru oleh generasi penerusnya. Amin.[]

Imam asy-Syathibi (538-590 H) Sastrawan Agung dari Andalusia

Aku rasa orang-orang mulia merasa beruntung
Karena sempat melihat seorang guru bernama asy-Syathibi
Mereka begitu mengagumi dan menghormatinya
Seperti sahabat yang mengagumi dan menghormati Nabi
Begitulah pujian kepada Imam asy-Syathibi yang dilontarkan oleh al-Hafizh Abu Syamah al-Maqdisi sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Jazri dalam Ghayah an-Nihayah. Ulama satu ini begitu banyak menuai pujian baik dari rekan-rekannya atau ulama-ulama di masanya. Tentang beliau as-Subki berkata, “Sesungguhnya ia adalah orang yang memiliki daya hapalan yang sangat kuat. Ia adalah seorang ulama ahli fikih, ulama ahli qira’at, ulama ahli hadits, dan ulama ahli nahwu. Ia seorang yang zuhud, tekun beribadah, khusyu’, dan sangat cerdas.”
Nama lengkapnya adalah Muhammad alias Abul Qasim al-Qasim bin Firruh bin Khalaf bin Ahmad ar-Ra’ini al-Andalusi asy-Syatibi. Lahir di daerah Syatibiyah, termasuk wilayah Andalusia, pada tahun 538 H. Beliau hidup pada masa Ya’qub al-Manshur penguasa Andalusia waktu itu dari dinasti Muwahhidun. Belajar al-Qur’an di Andalusia dan setelah dianggap cukup beliau melanjutkan rihlah pengembaraan ilmunya pada ulama di Valencia untuk belajar hadits. Beliau termasuk ulama tunanetra sejak lahir namun hal tersebut tidak menyebabkan dirinya berdiam diri. Ketekunan dan kesungguhan dalam menyelami ilmu Allah swt. membuatnya  mulia dan dikagumi oleh teman-temannya maupun ulama-ulama di masanya.
Kasidah yang Fenomenal
Harzu al-Amâni wa Wajhu at-Tahâni fi al-Qira’at as-Sab’i adalah karya Imam asy-Syathibi dalam bidang kasidah yang sangat populer. Kumpulan kasidah tersebut populer dengan Matan asy-Syathibi. Kasidah tersebut merupakan pencapain tertinggi dalam bidang sastra. Pengungkapannya begitu indah dan sangat luar biasa, sehingga tak berlebihan bila dikatakan sebagai cahaya dari Allah swt. yang menerangi akal dan hatinya. Karyanya ini sarat dengan pesan-pesan dan makna-makna yang mulia dengan penyampaian yang ringan.
Selain itu, para penunggang unta biasa melantunkan Hirz al-Amani dan Aqliyat Atrab al-Fadhai’l, dua kasidah lain Imam asy-Syathibi yang cukup populer. Popularitas dua kasidah ini sangat dikagumi dan diakui oleh para penyair, sastrawan, dan ulama ahli qira’at terkemuka. Imam asy-Syathibi mampu menyederhanakan masalah-masalah pelik dengan penyampaian yang mudah dipahami. Kasidah lain yang disusunnya adalah Aqilat Atrab al-Qasha’id fi Asna al-Maqashid dan Nazhimat az-Zuhri. Beliau juga menyusun kasidah yang terdiri dari lima ratus bait yang mengulas Kitab at-Tahmid karya Ibnu Abdil Barr.
Karamahnya
Tetang karamah yang dimiliki oleh Imam asy-Syathibi, Imam Ibnul Jauzi mendapat cerita dari gurunya. Di pagi yang buta, setelah shalat shubuh, di daerah al-Fadhiliyah Imam asy-Syathibi duduk bersiap-siap untuk mengajar. Orang-orang yang sudah semalaman menunggu segera mengerumuninya. Biasanya begitu duduk, Imam asy-Syathibi mengatakan, “Siapa yang datang paling dahulu silahkan membaca.” Kemudian beliau menunjuk orang yang datang dan seterusnya hingga selesai. Pada suatu hari ada salahsatu muridnya yang datang lebih awal , karena ia ingin bisa mendapatkan kesempatan yang pertama untuk membaca. Begitu duduk, Imam asy-Syathibi mengatakan, “Siapa yang datang nomor dua, silahkan ia membaca terlebih dahulu.” Orang yang datang nomor dua pun segera membacanya. Sementara orang yang dating pertama hanya diam dalam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Dengan tanda tanya besar yang berkecamuk di pikirannya, ia berpikir tentang kesalahan atau dosa apa yang telag ia lakukan sehingga gurunya bersikap seperti itu. Setelah beberapa lama, ia baru sadar bahwa pada malam itu ia mengaji dalam keadaan hadats besar. Ia begitu terburu-buru untuk mendapat giliran membaca pertama di majelis pengajian Imam asy-Syathibi sehingga ia tidak sempat untuk mandi besar. Dalam kegelisahannya murid tersebut  mendatangi lagi Imam asy-Syathibi yang masih tetap menyimak bacaan temannya tadi. Sesegera mungkin ia pergi menuju ke pemandian yang terletak di samping majelis pengajian gurunya tersebut. Setelah selesai mandi ia pun kembali ke majelis sedang Imam asy-Syathibi masih menyimak bacaan temannya tadi. Setelah temannya tersebut selesai membaca, Imam asy-Syathibi berkata, “Siapa yang tadi datang pertama, silahkan membaca.” Dengan sedikit tercengang, murid itu pun membaca.
Wafat
28 Jumadil Akhir tahun 590 H/ 19 juni 1194 M dunia berkabung dengan meninggalnya ulama besar dari Andalusia ini. Jenazahnya disemayamkan di pemakaman al-Qadhi al-Fadhil Abdurrahim al-Bayasani, Kairo yang makamnya sangat terkenal sampai saat ini. Beliau banyak mewarnai ghirah keilmuan di Andalusia lebih-lebih dalam kasidah. Semoga kuburnya diterangi cahaya oleh Allah swt. []

Sufi dan Percintaan: Kerinduan Bertemu dengan-Nya Menjadi Ruh Kehidupan #2

(مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَاللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ لَمْ يُحِبْ لِقَاءَاللهِ لَمْ يُحِبْ اللهُ تَعَالَى لِقَاءَهُ (اخرجه البخاري
“Barang siapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (HR. Bukhari)
Cinta adalah kondisi mulia yang telah disaksikan oleh Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya Allah swt. disifati sebagai Yang Maha Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Sebagian pakar bahasa mengatakan akar kata dari mahabbah adalah al-Hubab yaitu gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permuakaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk segera bertemu dengan sang kekasih. Kita mengenal Rabi’ah al-Adawiyah, Umar ibn al-Farid, Maulana Jaluddin Rumi, hingga Yahya bin Muadz al-Razi. Mereka semua menggunakan cinta sebagai mediasi untuk ‘bertemu’ dengan Allah swt.
Dalam kitabnya, Syarh Hadits Jibril, Habib Zain Ibrahim bin Smith memberikan definisi tentang cinta yaitu:
حالة يجدها الإنسان في قلبه تحمله على الإنهماك في طاعته والإجتهاد في خدمته والمسارعة الى مرضاته
Adalah sebuah keadaan yang membuat hatinya condong dan senang untuk melakukan ketaatan kepada Allah swt., bersungguh-sungguh dalam melakukan khidmah kepada-Nya, dan bersegara dalam meraih keridhaan-Nya.”
Oleh karenanya cinta menjelma menjadi sesuatu yang istimewa dalam kehidupan jika dipegang para sufi. Bila golongan awam memposisikan cinta sebagai manifestasi nafsu, cinta bagi kalangan sufi menjadi cinta yang menjadi ruh bagi gerak-gerik kehidupan. Hatinya terus berpacu dalam melakukan ketaatan kepada Allah swt. dan melakukan apapun yang diperintah oleh Allah swt. Jiwanya tunduk dalam ketakutan akan azab-Nya. Kehidupannya dipenuhi dengan kerelaan sempurna akan ketentuan-Nya, syukur akan karunia-Nya, dan sabar terhadap cobaan-Nya.
Sebaliknya, cinta Allah swt. kepada hamba lebih berupa kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta lebih khusus daripda rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kedekatan dan ihwal ruhani yang luhur disebut mahabbah.
Cinta menjadi mediasi antara hamba dan rabb-nya sehingga tidak ada lain yang mengalir dalam nafasnya selain Allah swt., Dzat yang dicintanya. Sehingga tidak heran apabila di kalangan sufi terkadanag mengalami trance  hingga melontarkan perkataan yang membingungkan bahkan dianggap sesat oleh orang awam. Bila cinta sudah menguasainya maka hanya ada Allah swt di dalam hatinya semata. Dalam hadis riwayat Anas bin Malik ra. Nabi saw. bersabda:
…وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَلَايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبَ إِلَيَّ  بِالنّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَيَدًا وَمُؤَيِّدًا (رواه أنس بن مالك
“Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”
Abu Bakar Muhammad al-Kattani bercerita bahwa beberapa syeikh di Makkah mendiskusikan tentang persoalan cinta selama musim haji. Hadir dalam majelis tersebut Imam al-Junayd, salah satu peserta termuda yang hadir. Melihat Imam al-Junayd, beliau ditanya, “Hai orang Irak, apa pendapatmu tentang cinta.”
Mendengarnya Imam al-Junayd menundukkan kepala seraya menangis kemudian menjawab, “Cinta adalah seorang pelayan  yang meninggalkan jiwanya dan melekatkan dirinya pada dzikir kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan kesadaran yang terus-menerus akan Dia dalam hantinya. Cahaya Dzat-Nya membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam ghaib-Nya, sehingga manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala dia bergerak, dia bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka diamnya itu adalah bersama Allah. Dia akan selalu dengan Allah, bagi Allah dan serta Allah.” Mendengar kata-kata Imam al-Junayd itu, semua syekh itu pun menangis  dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota orang ‘ârifîn.”
Tokoh sufi cinta legendaris Rabi’ah al-Adawiyah ketika masa-masa awal memasuki dunia sufi sering mengalami perasaan tidak tertahankan sehingga dia mengalami kesedihan yang amat sangat dan membuatnya selalu menangis. Hal itu terus dialaminya hingga gairah rindu pada-Nya menguasai diri Rabi’ah kemudian ia berkata, “Aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali. Seolah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat dalam pendengaranku yang tidak bisa aku hadapi kecuali dengan mengucurkan air mata.”
Keadaan tersebut membawanya dalam kekhawatiran yang amat sangat sehingga dia bermunajat, “Tuhanku, akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?” tiba-tiba muncul bisikan, “Kami tidak akan melakukan hal seperti itu. Engkau jangan menyangka buruk pada Kami.”

Aku Cinta Tuhan

Ya Allah apapun yang akan Engkau karuniakan padaku di dunia ini berikanlah pada musuh-musuh-Mu Dan apapun yang Engkau karuniakan pa...